Beginilah Menjadi Ibu Rumah Tangga Yang Baik dan Benar


Kita sering melihat atau mendengar ungkapan yang jika direnungkan lebih dalam, memperkecil istilah ibu rumah tangga, seperti dengan menambahkan kata “sendirian” atau “sendirian”. Jika itu label orang lain, mungkin kita bisa memilih antara diabaikan atau dikoreksi. Tetapi jika kita tidak memikirkannya, kita perlu menyelidiki ini sekarang. Mengapa?

Pertama, menjadi ibu rumah tangga sebenarnya

Ini bukanlah pekerjaan atau profesi. Lebih khusus lagi, itu adalah peran. Tidak mungkin sebuah rumah tangga hanya memiliki peran ayah. Harus ada peran ibu.

Berdasarkan beberapa bukti, studi psikologi mengungkapkan bahwa kebanyakan dari kita merujuk pada ibu untuk karakter dan kepribadian dasar atau sifat dasar. Namun, ketika memilih profesi atau profesi, dengan beberapa koneksi, kebanyakan dari kita merujuk pada ayah. Ibu meletakkan fondasi dan ayah melanjutkan pembangunan.

Ada ibu yang bekerja di samping atau di luar rumah, itu lebih berkaitan dengan pilihan dan keadaan. Ada orang yang memilih untuk berkarir dan keadaannya mendukung. Tapi ada keadaan yang mendukung tapi tidak memilih. Ada orang yang memilihnya, tapi keadaan tidak mendukungnya.

Kedua, istilah seperti ‘sendirian’

Yang kita pilih untuk mewakili perasaan kecil, bukan kebanggaan, seperti suku cadang, dll, mempengaruhi dua hal yang paling mendasar, yaitu harga diri (bagaimana perasaan Anda tentang diri sendiri). ) dan citra diri (bagaimana Anda menilai diri sendiri). Kedua hal itu, ketika kualitasnya menurun, akan memperburuk perlakuan kita terhadap diri kita sendiri, hubungan kita dengan pasangan kita, atau pendidikan kita. Merasa ‘sendirian’ mengurangi dorongan kita untuk tumbuh dalam bentuk apa pun. Padahal, agar pikiran manusia menjadi sehat, hukum alam harus dikembangkan lebih lanjut, atau emosi, kecerdasan, mentalitas, dan sebagainya. Begitu berada di jalan buntu, dia akan melepaskan energi negatif.

Dengan merasa “sendirian” kita telah menciptakan ruang bagi mitra untuk memperlakukan dirinya sebagai bawahan atau juga tertinggal dalam mengikuti dinamika perkembangan mitra. Padahal, hal ini akan membuat hubungan menjadi kurang hangat, dialogis, dan sehat.

Dengan merasa “sendirian” kita akan kurang kreatif dalam mencari solusi permasalahan yang timbul dari dinamika anak. Padahal, dinamika anak menuntut kita menjadi guru sekaligus siswa.
Intinya, harus ada perlawanan terhadap perasaan yang bisa membahayakan perkembangan batin kita. Caranya tentu bukan berjuang secara lahiriah (suami, anak, keluarga), tetapi secara batin, agar hasilnya baik dan untuk kepentingan bersama.